Selasa, 02 Desember 2008

analisis dampak krisis finansial global dalam sektor multifinance

Diskripsi Sektor/Industri Multifinance

Industri multifinance di Indonesia telah tumbuh pesat dan berkembang dengan skala luar biasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing, alternatif sumber dana lain seperti penerbitan obligasi merupakan satu pilihan yang ada, walaupun pilihan ini bukanlah pas untuk situasi saat ini. Financing [pembiayaan] sepeda motor adalah potensi bisnis yang cerah, sebuah hasil faktor bisnis yang kokoh,dan itu bisa kita lihat dibawah ini:

Sekilas gambaran tentang sejarah multifinance serta pasar sepeda motor Indonesia yang praktis dan terus berkembang. Kami akan memfokuskan pada sejarah dan latar belakang dari sektor bisnis yang relatif baru di Indonesia, untuk menjelaskan arah dan tujuan yang telah kami pilih. Persetujuan dan kodifikasi dari istilah 'industri multifinance' di Indonesia baru dicapai di tahun 1974. Pada tahun 1975, perusahaan multifinance pertama di Indonesia mulai beroperasi, dan pada akhir tahun 1970an dan awal 1980an, sektor ini dikenal dalam memudahkan leasing peralatan industri berat, yang ditujukan untuk perusahaan konstruksi yang seringkali tidak dapat melakukan pembelian yang diperlukan.

Pada akhir tahun 1980an, ketika perekonomian Indonesia mulai bangkit, perusahaan financing bergerak ke berbagai lahan baru, termasuk melebarkan sewa guna, anjak piutang, consumer financing [pembiayaan konsumen], modal usaha dan penerbitan kartu kredit. Pada saat itu, berbagai bank swasta mulai melayani tantangan kompetitif, dan melihat ke kredit konsumen sebagai sumber profit; tetapi, hal ini mulai menurun ketika berbagai bank mulai runtuh atau harus ditutup secara paksa oleh pemerintah, setelah krisis moneter tahun 1998. Mulai dari penyediaan pinjaman untuk peralatan kantor, produsen barang [manufaktur], konstruksi dan pertanian, perusahaan keuangan mulai mencurahkan waktu dan energi yang lebih banyak pada pasar konsumen yang semakin berkembang: jutaan rakyat Indonesia menginginkan barang, perkakas/perabot rumah, elektronik dan sepeda motor namun banyak yang tidak mampu membelinya secara langsung.

Dari sudut pandang tonggak sejarah ini, terlihat masa depan yang cerah dalam bidang multifinance di Indonesia, dimana 220 juta konsumen adalah sasaran yang atraktif untuk pedagang ecer dan penghasil barang [manufaktur]. Kekurangannya adalah ketidakstabilan perekonomian dan politik, berbagai bentuk resiko, perubahan suku bunga tiba-tiba (dari Bank Indonesia sebagai bank sentral) dan efek negatif dari kompetisi yang datang bersama dengan globalisasi ekonomi Misalnya, antara para pemain multi-nasional, GE Finance telah memperlihatkan minat yang besar dalam perkembangan industri kredit. Maka dalam sejarah yang lebih dari 30 tahun, industri multifinance telah menempatkan diri sebagai anggota terpandang dalam komunitas bisnis Indonesia, dalam menyediakan layanan penting bagi berbagai perusahaan, keluarga dan perorangan.

.

Analisis Dampak Krisis Finansial Global terhadap Industri/Sektor Multifinance

Krisis keuangan global telah memusingkan banyak pihak belakangan ini. Salah satu akar permasalahan bersumber dari krisis keuangan yang melanda Amerika dan berkaitan dengan industri “subprime mortgage” (KPR Subprima). Diawali pada akhir tahun 2006, industri KPR subprima di Amerika memasuki suatu masa yang disebut "masa kehancuran KPR subprima". Tingginya angka penyitaan jaminan KPR subprima ini telah menyebabkan perusahaan-perusahaan pemberi pinjaman KPR subprima mengalami kepailitan. Kehancuran dari perusahaan-perusahaan KPR subprima telah mengakibatkan harga pasar saham berbasis real estate investment trust jatuh dan membawa pengaruh meluas terhadap bursa saham Amerika serta ekonomi secara keseluruhan.

Krisis ini berlanjut terus dan telah mendapatkan perhatian serius dari media massa di Amerika serta pembuat undang-undang pada awal tahun 2007. Akan tetapi, permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut sebelum krisis keuangan tersebut meledak saat ini, tampaknya tidak menjadi sebuah pelajaran berharga bagi praktisi keuangan di Indonesia. Pada tahun 2007 hingga pertengahan 2008, perbankan Indonesia tetap mengenjot kredit konsumtif untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat.

Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.

Dari catatan perbankan nasional Indonesia per Agutus 2008, terlihat bahwa Rp 346 trilyun dari Rp 1.206 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 137T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 20,65% (Rp249T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,1% (Rp62T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 20% (Rp241T) saja dari total outstanding kredit. Pertumbuhan kredit konsumtif sepanjang tahun 2008 (hingga akhir Agustus) 22,48% atau lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit (20%).

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa sektor konsumtif masih menjadi pendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini. Selain itu dapat pula kita lihat, bahwa pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai.

Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Mereka membuktikan dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan) sektor ini, pada tahun 2005 hanya 2,26% saja. Namun keyakinan itu agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor konsumtif menjadi 2,78% per Agustus 2008. Di samping itu, secara absolute terjadi peningkatan kredit bermasalah pada sektor konsumsi, yakni dari Rp72T pada tahun 2005 menjadi Rp115T pada akhir Agustus 2008.

Perkembangan bisnis pada tahun depan sulit diprediksi sehingga pelaku di indusitri multifinance tidak dapat memproyeksikan rencana bisnis dan belum dapat memperhitungkan kinerja bisnis ke depan karena situasi pasar masih sulit akibat gejolak di pasar global. Selain itu, cukup sulit untuk mendapatkan fasilitas pendanaan dari perbankan. Serta bila ingin ekspansi bisnis ke depan harus dilakukan lebih selektif dengan cara memperketat persyaratan kredit dan meningkatkan uang muka dari 20% menjadi sekitar 30%. Hal dimaksudkan agar rasio pembiayaan bermasalah dapat ditekan.
Saat ini, tambahnya, rasio pembiayaan macet perseroan masih kurang dari 2% dan belum terlihat adanya peningkatan.

Industri multifinance masih menunggu penu­mnan BI Rate yang diikuti suku bunga pinjaman multifinance. Ketergantungan mul­tifinance pada bank sangat rentan terhadap risiko di saat tingginya suku bunga. Bank, kini, mulai selektif mendanai multifinance. Kendati multifinance mengalami pertum­buhan pada 2006, pertumbuhan tersebut belum menyamai rekor pada 2005. Penurunan laba selama 2006 menjadi pelajaran bahwa industri ini juga harus mengelola risiko. Prospek 2007 cukup cerah.

Ada dua alasan dihentikannya pembiayaan yakni tidak ada likuiditas dari bank dan suku bunga kredit saat ini terus bergerak naik sehingga multifinance menyetop pembiayaan dan memutuskan untuk menanti pasar kembali normal, bisnis pembiayaan hingga akhir tahun nanti diperkirakan akan terkoreksi dan potensi kredit macet juga berpeluang naik yang akan terlihat setelah dua sampai tiga bulan ke depan. Dia mengaku pihaknya masih memiliki likuiditas namun hanya digunakan untuk proyek yang telah mendapatkan komitmen pembiayaan dengan cara dilakukan renegosiasi dengan nasabah.

Perusahaan multifinance masih menyalurkan pembiayaan baru untuk motor meski pelaksanaannya diperketat untuk mencegah risiko bisnis. Saat ini perseroan masih memiliki dana dari induk usaha (Bank) sehingga pembiayaan baru terus berjalan yang disalurkan dengan sangat hati-hati, dengan tetap adanya komitmen untuk mengejar pembiayaan menyusul dukungan likuiditas masih mencukupi dan proyeksi bisnis hingga akhir tahun masih berpeluang tumbuh mencapai Rp8,8 triliun.

Mengelola resiko adalah sebuah elemen yang sangat penting dalam segala jenis bisnis saat ini. Metode sains yang terbukti, didukung dengan IT kontemporer, membantu sebuah organisasi seperti kami untuk memastikan pengelolaan dan organisasi sistem internal yang terpercaya.

Salah satu prinsip utama adalah survey kredit wajib yang sangat teliti bagi semua pemohon, dengan pengawasan secara terus menerus pada setiap calon konsumen, untuk membantu memudahkan pembayaran yang lebih lancar.

Kesimpulan dan Saran

Krisis ekonomi global yang menimpa semua negara di dunia, juga ikut memberikan dampak hebat pada perekonomian di Indonesia. Krisis ini menghinggapi berbagai industri di tanah air, dari mulai industri berskala besar hingga yang berskala mikro.

Industri multifinance juga merupakan salah satu industri yang terkena dampak krisis. Industri ini tidak akan mengalami pertumbuhan di tahun 2009 bahkan prediksi terburuk akan mengalami penurunan hingga 40%.

Industri multifinance saat ini akan menghadapi tantangan berupa kenaikan suku bunga, kenaikan suku bunga bank dan menurunnya permintaan pasar.

Mengantisipasi tekanan krisis ekonomi yang sangat kuat, industri multi finance harus memiliki kreatifitas dan inovasi untuk tetap bertahan dan sukses dalam menghadapi krisis. Kuncinya adalah bagaimana solusi bisnis dapat kreatif dan inovatif, tapi berada dalam koridor efisiensi.